Sabtu, 18 Februari 2012

CERITA BANDUNG JADUL

Bandung awal tahun 1970-an.....agak remang-remang memang, mengingat waktu itu aku masih usia balita. Tapi masa itu adalah masa "emas" tentang hubunganku antara diriku dengan lingkungan sekitarku. Cerita berawal pada sebuah jendela yang persis menghadap ke timur. Jendela itu seperti sebuah simbol jendela sebenarnya. 

Pagi-pagi, setelah mata terbuka dan sebuah doa bangun tidur dibacakan, aku melihat dari jendela rumahku itu aktivitas beberapa tetanggaku berseliweran di hadapanku. Paling pagi adalah giliran dua pasang nenek kakek penjual kopi tubruk dan roti bakar mendorong gerobak berbentuk aneh, seperti ada corong seng terbalik. Gerobaknya besar sekali sehingga agak susah belok di gang yang sempit. Kakek Amat si penjual kopi itu berbadan kecil, berbaju safari abu-abu kumal dan berkacamata tebal, istrinya ntah siapa namanya adalah nenek yang selalu berbaju kebaya hijau dan selalu membeli kangkung dan memelihara banyak kucing, sedangkan sepasang kakek nenek lainnya yang berbadan tinggi besar adalah saudara kakek Amat yang ikut membantu usaha.

Kemudian ada Mang Emod si tukang daging, pedagang yang memakai siulan untuk menandakan kehadirannya merupakan pedagang yang paling mewah dagangannya karena mahal harganya. Dia biasa membawa daging2 itu dalam sebuah kotak besi yang ditangkelkan keatas sepeda kumbang yang tinggi. Jika tetanggaku membeli daging, segumpal daging sapi yang segar segera di timbang dalam timbangan jinjing dari kuningan, "seperempat kilo dicincang!"....pinta pembeli dan mang Emod pun segera mengeluarkan golok kesayanganya. Daging pun lumat seraya mengeluarkan aroma daging segar yang harum ditimpa aroma rokok kawung yang mengepul dari sudut mulut si mang Emod. 

Ada juga si mang Suri..."Sarayuurrrr!!!" teriaknya, sambil memasukan roda sayurnya ke halaman rumahku. Ada bermacam-macam sayuran tertata di rodanya, dan tidak lupa dua kaleng bekas biskuit khong guan yang isinya rempeyek teri dan rempeyek kacang. Selain mang Suri, ada juga pedagang sayur lain yang sering keliling melewati rumahku yaitu mang Nana dan mang Adun yang kalau subuh menggelar lapak di jalan Aceh tepatnya di halaman bengkel Acai motor. 

Tetangga kiri rumahku, pak Dullah berprofesi sebagai pedagang nasi dan gule di daerah Jatayu. Setiap hari aroma gule tercium ke rumahku. Pak Dullah biasa membawa nasi sebaskom besar dengan motor vespa biru sedangkan istrinya bu Nana membawa panci gule beserta lauk pauk memakai becak. Tetangga di kanan rumahku adalah  keluarga besar pak Adis, kakek kelimis yang galak. Anak cucunya banyak sekali sehingga rumahnya selalu ramai. Tetangga di depan rumahku adalah pak Rusdi yang pensiunan, setiap pagi duduk di beranda rumahnya yang menghadap langsung ke jalan Aceh itu sambil membaca koran dan menyeruput minuman, sedangkan istrinya bu Eneng berdagang warung kecil di garasi rumahnya. 

Tetangga lainnya yang dekat dengan rumahku ada yang beretnis tionghoa, yaitu pedagang peci  M.Iming. Setiap hari si engko pergi ke Pasar Baru memakai colt warna coklat sambil mengantar anak perempuannya yang bersekolah  di Santa Angela, ada juga adik perempuan si engko yang sepertinya sering pergi ke luar negeri, sehingga kalau lewat terlihat bajunya model terbaru dan parfumnya semerbak memenuhi seisi gang. Yang lainnya adalah si babah Kemsek dan si Nyonya yang membuka warung kelontong. Warung si babah adalah warung paling terkenal di gang itu karena komplit dan sangat eye catcing untuk anak-anak jajan. Jangan salah, walaupun cuma pedagang warung tapi si babah punya anak yang bersekolah di Jerman dan hongkong.

Ada juga rumah depan si babah, yaitu rumah pak Engkos yang istrinya suka latah menyebutkan "anu" pria kalau sedang terkejut.......he he he maaf kalo agak porno, tapi biarpun latah, si emak yang satu ini ramah dan sangat sayang ke cucunya yang punya koleksi buku Tintin yang cukup lengkap itu. Ada juga bu Ede dan Pak Anwar, adik kakak yang merupakan anak-anak dari pahlawan nasional Abdul Muis itu, rumahnya menempel saling membelakangi, asiknya rumah mereka sering dijadikan tempat mainku. 

Menjelang malam, saat jendela ditutup gorden hijau bermotif bali, aku kembali menatap keluar jendela dan kulihat pedagang putu yang suara uap kukusannya melengking menebarkan aroma daun pandan. Ada juga tukang sate madura yang satenya ayamnya enak dan manis, teman makan malam keluarga kalau sedang awal bulan. Tak ketinggalan tukang bajigur yang berteriak lantang "jigguuuurrrr!...." memecah keheningan malam.

Setelah aku semakin besar, aku bisa  main lebih jauh lagi, tidak hanya memandang lewat kaca sebuah jendela. Aku pernah ikut main air di sungai Cikapundung. Dari tahun 70-an pun sungai itu sudah tercemar airnya, padahal menurut ibuku konon tahun 60-an masih bening airnya dan setiap subuh selalu terdengar suara orang yang bermain air  " Icikibung!...icikibung!..." bunyinya, entah sedang apa tapi itu terjadi setiap subuh. Walaupun airnya sudah tercemar dan berwarna coklat, aku seneng2 aja mencelupkan kakiku diantara batu2 sungai yang super licin sambil memungut benda2 yang hanyut melewatiku, ada termos bekas, ember kecil bolong, boneka rusak, sampai bubuk pacar cina dalam plastik. Karuan saja begitu benda2 tersebut aku angkut ke rumah, ibuku marah dan menyuruhku untuk membuangnya kembali. Setiap pagi jam 07.00 dan siang jam 12.00 terdengar suara tiupan keras yang membahana dari corong  menara belang2 milik pabrik kina di jalan cicendo, suaranya terdengar nyaring sampai rumahku, begitu selesai tiupan itu maka segeralah sungai Cikapundung berubah warna airnya dari coklat muda menjadi coklat tua yang buntek, pertanda pabrik kina telah membuang limbah berbahaya ke dalam sungai.

Cerita lainnya yang aku ingat ialah waktu belajar sepeda di BMC. Dari jaman belanda BMC terkenal sebagai toko susu di jalan Aceh. Aku masih ingat, jika disuruh orang tua beli susu atau yoghurt di sana, biasanya minta temen mainku untuk menemani karena suasananya yang sepi, sedikit angker dan dingin, ditambah pelayannya yang jutek dan tua. Kadang2 aku melihat om2 atau tante2 girang merokok disana, ntah lah ngomongin apa, yang jelas dulu itu daerah 17 tahun ke atas. Tapi sekarang BMC sudah berubah jadi cafe dengan nama yang sama, tetapi suasana nya lebih nyaman, pelayannya ramah dan management yang lebih profesional.  Di sebelah BMC waktu itul, ada toko sayur dan kelontong milik si encim yang sudah nenek2, yang aku ingat toko itu gelap tapi komplit sekali barangnya, yang menarik perhatianku adalah bahan2 untuk membuat sayur kimlo seperti so'un, jamur kuping dan asinan sedap malam yang sangat oriental ditambah asap bau hio dari pemilik toko yang setiap pagi mengepul ketika si encim sembahyang. Hal yang sama terjadi juga di toko mebel dan toko peralatan ABRI/Pramuka seperti lencana/badge dan juga toko mie Yap tepat di seberang toko si encim tadi....sang pemilik menggenggam batang hio merah yang dibakar, kemudian diletakkan di depan pintu toko.

Tempat lain di dekat tempat tinggalku adalah tempat jual es balok Sari Petojo di jalan Kebon Jukut. Tukang es gelondongan ini paling laku oleh pedagang es campur, tukang es lilin atau atau dibeli oleh ibu2 ketika ingin minuman sirop segar di rumah. Es balok itu dijual per 1/4 atau 1/2  atau 1 bagian. Jaman tahun2 itu belum tentu setiap rumah memiliki lemari es, paling2 rumah orang yang tergolong kaya saja yang mempunyainya. Kepemilikan TV pun belum seluruh rumah di sekitarku memilikinya, kalaupun ada TV pastilah TV hitam putih dengan siaran tunggal TVRI yang mulai mengudara sore sekitar pukul 17.00 sampai 24.00.

Di jalan Merdeka depan Balaikota, aku ingat ada supermarket pertama yang aku tahu di Bandung, namanya Gelael. Pernah aku masuk ke dalamnya, rasanya pertama kali grogi berat dan bingung mau beli apa, tapi akhirnya aku dan ayahku membeli roti dan sebungkus spaghetti mentah, olala....ketika bayar di kasir, ayahku hampir saja pingsan karena harganya sekitar 1/3 gaji sebulan ayahku yang dosen PNS ketika itu. Sejak saat itu aku kapok datang ke supermarket tersebut karena tidak terjangkau oleh keluargaku. Sebaliknya ayahku, biasanya berlangganan ke toko HWK di jalan Pajajaran, barang2nya lumayan komplit dan harganya standar.  Oya ketika shalat Ied di Bandung, kami biasanya memilih untuk shalat di balaikota, nyaman sekali rasanya bisa shalat ramai2 di bawah pohon ki hujan yang rindang, tapi kemudian shalat Ied dipindahkan ke gedung Kolokdam, entah kenapa ya kok jadi tidak diadakan shalat Ied di balaikota lagi setelahnya, padahal mesjid Ukhuwah belum ada, masih berupa gedung Graha Pancasila tempat orang mengadakan pameran dan pernikahan.

Jika ada anggota keluarga yang sakit, biasanya aku beli obat di apotek Maya di jalan Wastukancana, sayang sekarang sudah berganti menjadi sebuah restaurant seafood. Di dekat apotik Maya, ada sebuah bangunan kuno dari jaman belanda yang selalu kosong dan seram. Setelah aku tanyakan ke ibuku, katanya gedung itu dulunya sebuah hotel di jaman belanda. Kemudian gedung itu sempat aku lihat di cat oleh pemilik baru, tapi sepertinya sepi seperti biasanya. Aku dan teman2 ku biasa menyebutnya gedung hantu, tapi sebagian orang menyebutnya rumah putih. Di sepanjang jalan Wastukancana, terutama depan balaikota biasanya hobiku adalah mengumpulkan buah kenari dari pohon kenari yang berjejer rapi di pinggir jalan itu, buah kenari harus dipukul dulu sampai keluar bijinya, baru kemudian bijinya dimakan setelah terlebih dahulu disangrai sebentar. Masih banyak lagi yang aku lihat ketika itu, jika bisa....aku ingin kembali ke masa itu.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar